Kembali ke Jalan Rahasia
Deborah masih tidak mempercayai penglihatannya. Di balik semak belukar, nun jauh di lereng lembah, ia melihat sebuah bangunan tua yang unik. Bangunan itu berbentuk huruf U. Dikelilingi oleh pagar tinggi.
Deborah masih berdiri di tempatnya. Ia bertanya-tanya dalam hati. Gedung apakah itu? Menilik bentuknya yang kokoh dan banyaknya jendela yang terlihat, gedung itu lebih mirip sebuah Rumah Sakit.
Rumah Sakit?
Mana mungkin sebuah Rumah Sakit berada di lereng lembah yang curam? Ia menyanggah pikirannya sendiri.
Oh, tapi itu bisa saja bukan? Bukankah ada Rumah Sakit yang sengaja dibangun di tempat terpencil untuk pasien yang mengidap penyakit tertentu? Semacam ruang isolasi.
Pikiran terakhir itulah yang kemudian membuatnya nekat melanjutkan langkah.
Kini kakinya sudah berada di jarak tiga meter dari pagar tinggi itu. Ia menajamkan penglihatannya. Sepi. Tidak terlihat kesibukan apa pun di sekitar area gedung. Ia berjalan mendekati pintu pagar dan memeriksa keadaannya. Terkunci.
Ia pun menunggu beberapa saat. Setelah yakin tidak ada orang yang bakal membukakan pintu pagar untuknya, kakinya berjalan memutar. Memeriksa sekitar area gedung. Dan berhenti di sisi kiri bangunan yang letaknya agak melengkung.
Di sana ia melihat sesuatu. Pintu kecil. Pintu itu hanya seukuran separuh badan orang dewasa. Didorongnya pintu itu perlahan. Terdengar bunyi berderit.
Kembali matanya terbelalak.
Sebuah lorong gelap berada di hadapannya.
Kali ini Deborah mesti berpikir seribu kali untuk melanjutkan langkah. Ia tidak ingin berspekulasi. Ia tidak tahu seberapa panjang lorong itu dan tidak berani mengira-ngira.
Berpikir demikian Deborah bergegas memutar badan, memutuskan kembali ke Wooden House.
Kembali kakinya menapaki jalan yang tadi dilaluinya. Tak sampai sepuluh menit ia sampai di area semak belukar---pintu rahasia, yang ranting-rantingnya tampak semakin melengkung.
Seraya menguak dedaunan yang rimbun disembulkannya kepalanya.
Sesaat gadis itu menahan napas.
Dari kejauhan dilihatnya Martin berjalan terburu-buru menuruni lembah. Segera Deborah menarik tubuhnya kembali. Bergegas mencari tempat persembunyian yang aman.
Lebih dari sepuluh menit Deborah bersembunyi di balik pohon besar. Telinganya tidak mendengar apa-apa. Sepertinya Martin tidak berniat menuruni lembah.
Lantas kemana perginya pemuda itu?
Perlahan Deborah keluar dari tempat persembunyian. Hati-hati tangannya menyeruak lagi jalan rahasia itu. Kali ini ia mempercepat gerakannya. Ia tidak ingin kepergok Martin andai pemuda itu ternyata berubah pikiran.
Perjalanan menuju Wooden House ternyata lebih sulit ketimbang saat ia menuruni lembah. Jalanan yang dilalui terus menanjak. Membuat napasnya terengah dan kakinya mengalami kram. Ia terpaksa berhenti berkali-kali untuk melemaskan urat-urat jemari kakinya yang menegang.
Meski akhirnya sampai juga ia di atas. Deborah menarik nafas lega. Rasa lelah dan haus membuatnya bergegas berbelok ke rumah singgah.
Tapi ia harus menghentikan langkah. Ada orang lain telah mendahuluinya berada di pondok singgah. Orang itu berdiri di teras, memunggunginya.
Martin.
Entah apa yang tengah dilakukan pemuda itu. Ia tampak serius. Ia bahkan sama sekali tidak menoleh ke arah Deborah.
Deborah tidak ingin Martin melihatnya. Ia mempercepat langkah menuju Wooden House, memilih jalan memutar di sisi kiri pondok singgah.
Sepuluh menit kemudian ia sampai di kamar 209. Didorongnya perlahan pintu kamar yang tidak terkunci itu. Dilihatnya Inta tengah asyik menimang-nimang sebuah benda.
Topeng!